Kabupaten Tuban adalah salah satu kabupaten kecil yang berada di utara pulau Jawa, tepatnya di Provinsi Jawa Timur. Tuban merupakan salah satu kota tertua di Jawa Timur. Pada tanggal 12 November kemarin, kota Tuban merayakan hari jadinya ke-719. Sebagai kota yang cukup tua, Tuban memiliki beragam tradisi, salah satunya adalah Tradisi minum Toak (Tuak). Toak sendiri adalah cairan (legen) dari tandan buah pohon lontar (masyarakat menyebutnya uwit bogor) yang difermentasikan sehingga sedikit memabukkan karena mengandung alkohol.
Paring Waluyo Utomo

Pesisir Tuban, Jawa Timur, jika dipandang dari laut bagai secuil buih,
putih berpadu dengan tanah merah. Cuaca di kawasan ini jelas panas.
Penduduk setempat mengandalkan mata pencaharian dari hasil laut. Namun,
yang berada di pedalaman mengandalkan pertanian untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Sayangnya, tidak semua lahan pertanian subur, karena hanya
kawasan sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo yang bisa
mendapatkan pasokan irigasi yang cukup.
Sebaliknya, di wilayah tengah Kabupaten Tuban membentang Pegunungan
Kapur Utara, yang rangkaiannya membentang dari Pati Jawa Tengah, hingga
Tuban di Jawa Timur. Dari luar deretan bukit-bukit Pegunungan Kapur
Utara hanya berupa batu-batu cadas dan kapur, menyembul secara variatif
dari balik tanah merah. Tak banyak vetegasi tumbuhan yang bisa hidup di
kawasan ini.
Corak dominan yang menghijaukan bukit-bukit Pegunungan Kapur Utara
adalah tanaman aren. Orang-orang Tuban menyebutnya Wit (Pohon) Bogor dan
Pohon Bambu. Bentuknya mirip pohon kelapa, yang membedakan bentuk daun
dan buahnya. Daun Pohon Bogor lebar, mirip telapak kaki cicak, antar
jemari ada selaputnya, sehingga terlihat lebar, tidak terurai
kecil-kecil seperti daun kelapa. Buah Pohon Bogor disebut enau, atau
dalam istilah lokal Tuban disebut ental atau siwalan, dan istilah
latinnya Borassus sundaicus. Vegetasi Pohon Bogor ini banyak tumbuh di
kawasan tengah Kabupaten Tuban, yang meliputi beberapa kecamatan antara
lain; Kecamatan Palang, Semanding, Montong, Merakurak, dan Kerek.
Bermodalkan struktur ekologi inilah, warga setempat membangun
kebudayaannya dari dulu hingga kini. Menjamurnya Pohon Bogor,
dimanfaatkan warga setempat dari generasi ke generasi untuk sumber
ekonomi. Ketika saya menggali lebih dalam, dari berbagai sumber primer,
dan teks-teks kepustakaan, tidak banyak yang memberi jawaban sejak kapan
orang-orang di kawasan ini mahir mengolah Pohon Bogor.
Namun, dari cerita lisan dan beberapa sumber tradisi, produksi dan
minum tuak telah berjalan berabad-abad lamanya. Misalnya pada abad 11
Masehi, ketika bala tentara Tar-Tar dari Mongolia yang telah mengalahkan
bala tentara Kerajaan Daha (Kediri), singgah di Tuban dan merayakan
pesta kemenangan dengan minum tuak dan arak. Pada masa keemasan Kerajaan
Singasari, Raja Kertanegara juga gemar minum tuak untuk
perayaan-perayaan kerajaan. Tuak menjadi minuman yang melintas batas
kelas, dari seorang petinggi negeri seperti raja hingga para petani
biasa.
Di beberapa komunitas adat (lokal) di Nusantara, tradisi produksi dan
minum tuak juga telah berlangsung lama, dan bertahan hingga kini. Dalam
annual report yang dibuat oleh Shigehiro Ikagemi
(1997; Part 5) menuliskan tradisi produksi dan minum tuak pada
Komunitas Adat Batak. Diceritakan oleh Ikagemi, Komunitas Adat Batak
Toba menggunakan tradisi minum tuak dalam acara-acara keagamaan yang
telah berlangsung lama, dari generasi ke generasi. Bahkan, dalam tradisi
Batak Toba, perempuan Batak Toba yang baru saja melahirkan diwajibkan
untuk minum tuak dalam ukuran yang terbatas.
Di komunitas adat lainnya seperti beberapa suku di Bali dan Lombok,
juga memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol. Sampai kini, sangat
dikenal jenis arak Bali. Bahkan arak Bali memiliki beberapa jenis.
Sejenis dengan arak Bali, beberapa komunitas adat di Lombok memiliki
minuman fermentasi yang populer dikenal dengan arak, ada pula yang
menyebutnya brem. Komunitas Dayak di Kalimatan Tengah juga memiliki
minuman tradisi yang dikenal dengan baram. Selama ratusan tahun yang
lalu, baram menjadi properti ritual untuk memberi penghormatan kepada
roh-roh leluhur.
Di tangan orang-orang Tuban, dari generasi ke generasi, kuncup bunga
pohon Bogor diolah menjadi minuman tradisi, yang dikenal dengan nama
legen dan tuak. Legen, minuman yang diambil dari “getah” kuncup bunga.
Kuncup bunga itu dinamakan Wolo. Wolo ini diikat sebanyak 3 atau 4 wolo,
kemudian tetesan “getah”nya ditampung selama sehari atau semalam.
Tetesannya ditampung ke dalam bambu yang ditali, dikaitkan dengan
kumpulan tangkai bunga Bogor yang telah diiris sebelumnya. Dalam istilah
warga Tuban, bambu itu dinamakan Bethek.
Legen terasa manis, bercampur dengan “rasa soda” yang bersifat alami
karena diproses dari alam secara langsung. Minuman ini tidak bisa
bertahan lama. Rata-rata 4-5 jam sejak diambil dari penampungannya,
legen sudah tidak bisa dikonsumsi lagi. Rasanya sudah berubah menjadi
asam, dan jika diminum, membuat perut sakit.
Sama seperti legen, tuak juga bersumber dari “getah” irisan tangkai
bunga pohon Bogor. Yang membedakan dengan legen, bambu untuk menampung
“getah” tangkai bunga Pohon Bogor dicampuri dengan Bebekan. Ada beragam
jenis bebekan. Warga Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding, Tuban
lebih gemar membuat bebekan dari pelepah kulit Pohon Juwet.
Pelepah kulit Pohon Juwet dikeringkan, lalu dicincang, namun tak
sampai lembut, cukup serat-serat kulitnya terurai. Tiap tetesan “getah”
yang ditampung dalam bambu akan bercampur dengan bebekan. Percampuran
kedua unsur inilah yang membentuk minuman tuak. Berbeda dengan warga
Prunggahan kulon, warga Desa Tegalbang dan Tunah, Kecamatan Semanding,
Tuban membuat bebekan dari pelepah kulit Pohon Mahoni.
Bebekan dari kulit pohon Mahoni rasanya sangat pahit, sehingga rasa
tuaknya juga terasa pahit, dan rasa manis yang tipis. Sedangkan bebekan
dari kulit pohon Juwet lebih variatif, perpaduan rasa manis, sedikit
gurih, dan sedikit asam. Sama seperti legen, tuak juga tidak bisa
bertahan lama. Dalam tempo 4-5 jam sejak diambil dari Pohon Bogor
rasanya telah terasa pahit dan asam. Sebagai minuman hasil fermentasi,
tuak mengandung alkohol tidak begitu tinggi. Menurut kajian Garjito, dkk
(2004:94), kadar alkohol yang terkandung dalam tuak sebesar 2 – 4
persen.
Jika dibandingkan dengan minuman bir pilsener hasil pabrikan, kadar
alkhohol yang terkandung di dalam tuak jelaslah lebih rendah. Rata-rata
kadar alkohol bir antara 5-10 persen. Tuak bahkan jauh lebih rendah
kadar alkoholnya jika dibandingkan dengan wine yang alkoholnya mencapai
15 persen.
Dalam relasi produksi minuman tuak dan legen, kaum perempuan di Tuban
memegang posisi penting. Rata-rata pembuat bebekan tuak adalah kaum
perempuan. Otomatis, penentu selera tuak menjadi enak atau tidak sangat
bergantung bebekan yang dibuat kaum perempuan. Semakin cermat membuat
komposisi bebekan, tentu semakin memikat bolo ngombe (komunitas peminum
tuak) untuk memburu tuaknya.
Selain menghasilkan “getah” untuk produksi legen dan tuak,
bagian-bagian pohon Bogor masih memiliki kemanfaatan bagi penduduk
setempat. Pelepah daunnya, oleh orang Tuban disebut lontar, dipakai oleh
petani tadah hujan dikawasan ini untuk membuat penutup kepala (caping).
Beberapa tahun yang lalu, sebelum plastik mulai menggantikan, anyaman
daun lontar dipakai oleh penduduk setempat sebagai tempat nasi. Lontar
dianyam, mirip ketupat, namun dalam ukuran besar. Anyaman ini dipakai
untuk tempat nasi dan lauk pauknya saat acara kenduri di
kampung-kampung. Warga setempat menyembutnya tumbu.
Di akhir tahun 90-an, saya sudah jarang melihat properti ini dipakai
dalam kenduri di kampung-kampung di Tuban. Beberapa orang tua perempuan
yang biasa menganyam tumbu telah meninggal dunia. Produksi dan penjualan
tumbu di pasar telah tergantikan dengan plastik. Praktis, tumbu tak
lagi menghiasi pasar-pasar di Tuban.
Komposisi lain yang bernilai manfaat dari pohon Bogor adalah buahnya.
Pada umumnya masyarakat menyebutnya buah Siwalan atau Ental. Buah ini
mengandung air, selain selaput biji dalamnya yang lembut. Rasanya manis,
segar, sangat cocok dinikmati di cuaca panas seperti Tuban. Saat belum
dikelupas kulitnya, buah Siwalan dapat dikonsumsi hingga beberapa hari
kedepan, sejak pengambilan dari pohonnya.
Dari pohon Bogor inilah, para petani tegal di Tuban membangun
kebudayaannya dari hari ke hari. Tuak yang berumur tua, seumuran dengan
sejarah Tuban sendiri, telah menjadi citra diri orang-orang Tuban,
meskipun sebagian lainnya, yang menganut keislaman secara “kuat” menolak
mengidentikkan Tuban dengan tuak.
Sekilas, “batas-batas kultural” di Tuban seolah nampak jelas,
mirip-mirip gambaran Clifford Geertz melalui proyek Mojokuto-nya. Di
wilayah dekat pesisir, corak keislamannya lebih kuat ketimbang yang di
pedalaman selatan. Apalagi komunitas santri yang bermukim di sekeliling
Makam Sunan Bonang. Warga di luar kampung ini umumnya menyebut dengan
Kampung Arab, dikarenakan sebagian besar penduduknya adalah warga
keturunan Arab, yang sudah berabad-abad tinggal di kawasan ini sebagai
pedagang.
Dulu, sekitar tahun 80-an, sebelum mengguritanya proyek-proyek
industrialisasi di Tuban, bersebelahan dengan Kampung Arab adalah
kampung para priyayi, pegawai-pegawai pemerintah. Kini, batas-batas itu
tak nampak berbeda. Migrasi penduduk yang begitu cepat menjadi warna
menentukan atas geo-identitas beberapa kampung di Tuban, dan mungkin di
tempat lainnya. Konsekuensi pertumbuhan kawasan di Tuban telah membuka
pusat-pusat pemukiman baru, yang lebih beragam identitasnya.
Berbeda dengan pesisir utara, tradisi keagamaan orang kampung di
kawasan Tuban Selatan masih memberi wadah untuk praktik mistik Islam
Jawa, sebagaimana konsepsi Mark Woodward tentang Islam Jawa (1999:226). Sebab sebagian kelompok sosial ini kurang menyukai praktik keagamaan Islam secara normatif.
Kira-kira sedikit asumsi Woodward di atas bisa menggambarkan kontur
sosio-religiositas warga di kawasan ini. Mayoritas penduduk Kecamatan
Semanding dan Palang Kabupaten Tuban beragama Islam, namun banyak di
antara mereka yang sampai kini meminum tuak dan arak. Bahkan kedua
minuman itu menjadi penopang kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Karena
pohon Bogor bernilai ekonomis, para pemilik pohon Bogor dapat
menransaksikan atau menjualnya kepada pihak lain. Satu pohon Bogor
bernilai ratusan ribu, sangat tergantung kondisi pohonnya. Saat telah
diperjualbelikan kepada pihak lain, pemilik tanah tidak mengenakan tarif
sewa tanah atas keberadaan pohon Bogor yang dijualnya. Pembeli pohon
Bogor dapat mengambil nilai ekonomisnya sampai pohon tersebut tidak
berproduksi.
Dalam sehari, setiap pohon Bogor bisa menghasilkan 1 – 2 liter tuak
atau legen. Semakin banyak seseorang memiliki pohon Bogor di tanah
tegalan (sawah tadah hujan), otomatis petani itu akan semakin banyak
menghasilkan tuak atau legen. Para petani tuak di Tuban mengambil tuak
sehari dua kali, yakni pagi dan sore. Hasil tuak atau legen yang diambil
pagi hari, dijual dengan memasok ke warung-warung kecil untuk jatah
peminum menjelang siang.
Sedangkan tuak atau legen yang diambil siang hari, dipakai sebagai
pasokan peminum tuak untuk sore sampai malam hari. Tuak dan legen yang
diambil kemudian didistribusikan ke warung-warung sekeliling Kota Tuban
dan Semanding. Dahulu, hingga akhir tahun 80-an, saya masih sempat
menyaksikan penjual tuak dan legen keliling. Kini teramat sulit untuk
menemukannya. Hasil unduhan tuak dan legen langsung dipasok ke
warung-warung, bersanding dengan bir dan beberapa jenis minuman garapan
industri.
Bagi petani penghasil tuak dan legen, tuak dan legen miliknya bisa
dijual sendiri di rumahnya, atau dijual langsung ke warung-warung
penjual tuak dan legen. Jika petani penghasil tuak dan legen memasoknya
ke warung-warung, tentu mereka hanya mendapatkan keuntungan sedikit,
jika dibandingkan dengan menjualnya secara langsung ke konsumen. Bagi
petani yang menghasilkan tuak dan legen dalam jumlah banyak, biasanya
didistribusikan ke warung-warung, dan ia hanya menyisakan sedikit untuk
dijual di rumahnya.
Persis seperti peran pentingnya dalam proses produksi tuak, kaum
perempuan di Tuban juga memegang peran sentral dalam proses distribusi
tuak. Mayoritas penjual tuak dan legen di warung-warung adalah kaum
perempuan. Untuk mengundang bala ngombe datang ke warung jualannya,
perempuan penjual tuak tak harus muda, apalagi dandanan menor (make up
mencolok), dan berbusana seksi.
Berbeda dengan daerah lain, yang mengandalkan perempuan muda, busana
super seksi untuk menarik konsumen, para bala ngombe tuak di Tuban lebih
mengedepankan rasa akan tuak. Rata-rata para perempuan penjual tuak
memang wanita yang telah berumur. Tak ada kesan untuk “menjual”
keseksian tubuh perempuan dalam arena bala ngombe.
Memang tak seluruh warung-warung di Tuban menyediakan tuak. Sifat
tuak yang tak bisa bertahan lama, secara tak langsung menghambat
distribusinya. Hanya warung-warung di sekitar Kecamatan Tuban,
Semanding, Palang dan Plumpang yang kerap menyediakan tuak. Persepsi
masyarakat atas tuak sebagai minuman yang diharamkan agama juga ikut
membentuk terbatasnya peredaran tuak di masyarakat.
Selain warungan, memang ada beberapa “pos” dadakan saat sore hingga
malam hari, sebagai lokasi penikmat tuak untuk minum bareng, selain di
warung-warung. Beberapa di antaranya di Lapangan Sepak Bola Sleko, bekas
Stasiun Kota Tuban, pojokan perempatan Karang Waru, semuanya di
pinggiran Kota Tuban. Lokasinya cenderung sepi, agak remang-remang,
namun nyaman untuk minum dan ngobrol kesana kemari.
Para peminum tuak rata-rata kelas pekerja berat, buruh kayu
(blandong), tukang becak, kuli bangunan, dan kondektur bis rute lokal.
Bagi mereka yang berdaya beli rendah, minum tuak adalah pilihanya,
selain faktor tradisi dan soal selera tuak yang tak bisa digantikan oleh
jenis minuman apapun. Tuak rata-rata dijual Rp. 1.500 – 2.000 per
centak. Ditambah tambur (makanan pengiring) berupa nasi jagung, sayur
lodeh, lauk, serta kacang. Lauk pauknya biasanya dari beragam jenis
daging hewan yang mudah didapat dan murah, seperti bekicot, belut,
katak. Para peminum biasanya tak sampai menghabiskan uang Rp. 10.000
sudah merasa puas.
Keuntungan kecil tapi rutin juga dirasakan para penjual tuak.
Saminah, 58 tahun warga warga Desa Jadi, Kecamatan Semanding, Tuban
merasakan seperti itu. Janda empat anak ini hidup seorang diri di
rumahnya yang lebih pantas disebut gubuk daripada rumah tempat tinggal.
“Menjual tuak tak perlu modal cukup banyak mas. Kalau menjual bir atau
lainnya, tentu butuh modal besar. Itupun belum tentu tiap hari langsung
laku. Kalau menjual tuak modalnya lebih rendah, dan setiap hari sering
habis, sebab warga di kampung sini tiap hari menikmati tuak, terlebih
menjelang sore dan malam hari sehabis kerja seharian,” ujar Saminah.
Rata-rata perempuan penjual tuak seperti Saminah dalam sehari bisa
menjual 20 liter tuak, dan makanan pengiringnya (tambur). Praktis,
Saminah dapat mengantongi keuntungan 15 sampai 25 ribu rupiah per hari.
Nominal yang sangat penting bagi kelangsungan kebutuhan ekonominya.
Berjualan tuak, oleh kebanyakan perempuan warungan di Tuban menjadi
penyangga ekonomi keluarga. Memang, bagi sebagian pedagang, berjualan
tuak dan tambur menjadi penghasilan sekunder. Penghasilan primernya dari
hasil bercocok tanam.
Belakangan, di saat sektor pertanian apalagi pertanian tegal
terpuruk, perempuan warungan yang menjual tuak dan tambur tumbuh menjadi
mata pencaharian substitutif. Kalangan keluarga seperti ini tentu
sangat berharap bala ngombe tetap ada, dan bahkan mungkin berkembang,
agar dapur mereka tetap mengepul.
Dalam sehari masa produksi, tak seluruh minuman tuak habis, beberapa
penjual tuak biasanya menimbun “tuak kadaluwarsa”. Setiap dua atau tiga
hari sekali ada beberapa pengepul yang membeli tuak kadaluawarsa
tersebut. Untuk 20 liter tuak kadaluarsa bisa dibeli oleh pengepul
sebesar Rp. 5.000. Nilai yang cukup berarti bagi para penjual tuak,
daripada minumannya terbuang.
“Tuak-tuak kadaluwarsa ini banyak dibawa ke Lamongan dan Surabaya.
Katanya diolah lagi dan dijual di sana,” ujar Likanah, 41 tahun warga
Desa Ngino Kecamatan Semanding, Tuban. Beberapa pengepul yang saya ajak
berbicara soal tuak kadaluwarsa enggan untuk membuka resepnya. Mereka
hanya menyampaikan bahwa yang kadaluwarsa perlu diolah lagi dengan
direbus dan dicampuri ragi dan bahan pengawet. Pasca pengolahan ini,
tuak kadaluwarsa tersebut bisa bertahan berhari-hari.
Di Lamongan dan Surabaya, tuak olahan ini bisa dijual secara variatif
antara Rp.5.000 – 7.000 per liternya. Berbeda dengan tuak fresh di
Tuban yang diperjualbelikan secara bebas, dan terbuka di warung-warung,
bahkan di pinggir jalan untuk melayani bala ngombe, tuak kadaluwarsa
yang diolah kembali cenderung ditransaksikan secara tertutup dari tangan
ke tangan, dan dari mulut ke mulut.
Peralihan formasi dan habitus tuak, dari tuak alami ke tuak olahan
memang membawa pergeseran dan persepsi yang kian memperburuk tafsir atas
tuak. Diperdagangkannya tuak olahan di luar Tuban telah menempatkan
tuak sebagai “barang kriminal”. Apalagi, cerita-cerita kematian dari
beberapa peminum tuak olahan menjadi fakta ikutan yang ikut membangun
persepsi menakutkan tentang minum tuak.
Kontruksi tuak saat keluar dari Tuban telah bergeser total, sayangnya
bala ngombe meskipun menyadari hal itu, toh mereka tak bisa berbuat
banyak. Transaksi tuak kadaluwarsa pada kenyataannya memang
menguntungkan para penjual tuak. Sementara kegemaran bala ngombe minum
tuak juga dipenuhi oleh para perempuan penjual tuak di warung-warung
tersebut. Meski begitu, bala ngombe tampaknya tak memusingkan kontruksi
tuak dan cap negatifnya.
Semoga pemerintah kota Tuban lebih peduli dengan saudara-saudara kita, baik pemanen ataupun penjual. Sebenarnya kita dapat lebih mengembangkan produksi legen dengan mengemas dalam kemasan siap minum. Selain lebih ekonomis, legen juga bisa didistribusikan ke berbagai kota di Indonesia. Sehingga bisa menjadi salah satu komoditas utama di kota Tuban.
Saya sebagai warga Tuban ingin mengucapkan SELAMAT HARI JADI KOTA TUBAN ku tercinta ke-719.
Sekian....
0 comments:
Post a Comment